• pshtrantingmestim1@gmail.com
  • 0813-8507-3537

Ki Ngabehi Soerodiwirjo

Pencak silat merupakan suatu kesenian yang berasal dari Indonesia, tak jarang pencak silat menjadi sebuah tradisi yang sudah melekat di jiwa bangsa Indonesia sehingga banyak aliran pencak silat yang kita ketahui saat ini salah satunya yaitu aliran pencak silat yang berasal dari Madiun, Jawa Timur ini yaitu "Setia-Hati" atau yang biasa kita kenal yaitu SH. Siapakah beliau? Bagaimana sepak terjang beliau dalam kesenian pencak silat ini? Mari kita ulas mengenai beliau serta sebuah aliran pencak silat yang didirikannya.

Beliau adalah Ki Ngabehi Soerodiwirjo atau yang biasa kita kenal "Eyang Suro". Beliau merupakan pendiri sekaligus pencipta aliran SH. Beliau lahir pada hari Sabtu Pahing tahun 1869 dengan nama kecil Mas Muhammad Masdan, beliau merupakan keturunan Bupati Gresik. Nama ayahanda beliau yaitu Ki Ngabehi Soeromiharjo yang bekerja sebagai mantri cacar di Lamongan Jawa Timur.

Pada tahun 1883 beliau berusia 14 tahun dan tamat sekolah rakyat. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, beliau ikut uwu atau pamannya yang bernama Mas Ngabehi Soeromiprojo yang menjabat sebagai wedono di Wonokromo, Surabaya dan wedono di Sidayu Gresik. Karena beliau sangat mencintai budaya tanah air, pada akhirnya beliau tertarik untuk memperdalam ilmu pencak silat serta memperdalam ilmu kerohanian. Pada tahun 1884, beliau berusia 15 tahun dan pada saat itu pula beliau bekerja sebagai juru tulis di kantor kontrolir Jombang, dan setiap sore,beliau memperdalam ilmu pencak silat serta ilmu kerohanian. Tetapi siapa sangka, ternyata beliau pernah belajar di sebuah pondok pesantren yang ada di Jombang.

Pada tahun 1885, beliau beranjak usia yang ke 16 tahun. Masdan beranjak pindah beserta syekhnya menuju ke Bandung Jawa Barat dan bekerja sebagai juru tulis. Namun, beliau tidak tinggal diam, beliau tetap memperdalam ilmu pencak silatnya setelah pulang bekerja. Selama di Bandung beliau belajar kepada pendekar-pendekar, sehingga beliau menguasai ilmu-ilmu pencak silat seperti: tjimande, tjikalong, tjiampea, tjibadujut, tjimalaja, tjipetir, soemedangan.

Pada tahun 1886, Eyang Suro meranjak usia yang ke 17 tahun. Pada saat itu pula, beliau beserta syekhnya pindah ke Batavia. Selama di Batavia beliau sangat aktif dalam menambah ilmu-ilmu pencak silatnya. Beliau menimba ilmu kepada pendekar yang berasal dari Betawi sehingga beliau menguasai ilmu pencak silat yang berasal dari Betawi seperti : betawen, koewitan, monyetan dan permainan toyak.

Pada tahun 1887, pada saat usia ke 18 tahun, beliau kembali berkelana mencari ilmu pencak silat ke Bengkulu.Namun, ilmu pencak silat yang berasal dari Bengkulu memiliki kemiripan dengan ilmu pencak silat yang berasal dari Priangan (Jawa Barat). Pada saat pertengahan tahun 1887, beliau ikut chief controller. Kemudian, beliau menjelajahi Padang Sumatera Barat dengan kurun waktu selama sepuluh tahun. Dengan waktu yang lama itulah, beliau mendalami ilmu-ilmu pencak silat yang berasal dari Sumatera Barat. Pada saat itu, beliau mendapatkan guru yang sangat terkenal.Adapun guru yang pertama bernama Datuk Rajo Batuo. Selama beliau dibimbing oleh Datuk Rajo Batuo, Eyang Suro mendapatkan ilmu-ilmu pencak silat seperti :
Fort De Kock, permainan Padang, Bungus, Pariaman, Padang Panjang, Padang Sidempuan, Padang Pesisir/Baru, Padang Siranti, Bukit Tinggi, Alang Lawas, Lintau, Maninjau dan Permainan Sterlak (Sitaralak) dan yang terakhir yaitu bungkusan dari Teluk Bayur, sebagai ucapan terima kasih Eyang Suro terhadap gurunya. Beliau mempersembahkan sebuah hadiah yang dinamakan Pisusun yang berisi berupa pakaian hitam pekat, sebenarnya sang guru tidak ingin menerima Pisusun tersebut karena beliau sangat sayang kepada Eyang Suro selama menjadi muridnya, tetapi pada akhirnya Datuk Rajo Batuo tetap menerima hadiah tersebut.

Pada tahun 1897, beliau berusia 28 tahun. Pada saat itu, beliau jatuh cinta kepada seorang wanita yang berasal dari Padang. Pada saat Eyang Suro melamar, lamaran beliau terhadap wanita tersebut di terima, akan tetapi sang wanita meminta bebana yang berisi :
Siapakah sesungguhnya Masdan?
Siapakah sesungguhnya saya ini?

Karena beliau tidak dapat menjawab bebana yang di berikan oleh sang pujangga cintanya, beliau sangat kesal dan jengkel karena bebana tersebut diucapkan di depan kedua orang tua wanita tersebut. Akhirnya, beliau berguru kepada seorang ahli kebatinan sangat terkenal dan merupakan seorang punggawa yang berasal dari Kerajaan Bali yang pada saat itu beliau diasingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Beliau bernama Nyoman Ide Gempol atau dijuluki sebagai Raja Kenanga Mangga Tengah. Setelah beliau mendapatkan ilmu dari sang guru, Eyang Suro langsung mengamalkan ajaran tersebut dengan wirid selama tujuh malam beliau pun memadukan unsur ilmu-ilmu yang beliau peroleh, yang sekarang dikenal sebagai ilmu persaudaraan Setia Hati dengan motto "Gerak lahir luluh dengan gerak batin, gerak batin tecermin dari gerak lahir." Setelah melalui perjalanan yang sangat lama dalam mendalami ilmu, akhirnya Eyang Suro dapat menjawab bebana dari sang pujaan hati dan beliau mempersunting sang gadis itu.

Pada tahun 1898, Eyang Suro beserta istrinya beliau pun melanjutkan perjalanan menuju ke Aceh, dan beliau terus untuk mendalami ilmu pencak silat, dan saat itu pula beliau mendapatkan seorang guru yang terkenal yang bernama Tengku Ahmad Mulya Ibrahim, dan beliau mendapatkan ilmu yaitu Binjain dan permainan kucingan.

Pada tahun 1900 beliau beserta istri pindah ke Jakarta dan di sana beliau bekerja menjadi seorang masinis kereta api yang menjalankan stoomwalls. Peristiwa bersejarah tercipta pada hari Jum'at Legi, tanggal 10 Muharram 1321 H/1903 M, beliau mendirikan "Sedulur Tunggal Kecer" dengan nama pencak silat yaitu "Djoyo Gendhilo Ciptomulyo".

Pada tahun 1917 Eyang Suro mengubah nama pencak silatnya menjadi "Setia-Hati" yang kita kenal saat ini. Perjalanan Eyang Suro berakhir pada Jum'at Legi, bulan Selo, 10 November 1944, pukul 14.00 beliau wafat meninggalkan semua saudara. Beliau meninggalkan tiga pesan untuk seluruh saudara "SetiaHati" yaitu :
Apabila saya berpulang ke Rahmatullah agar saudara-saudara SH tetap bersatu hati, tetap hidup guyub rukun lahir batin, dan agar seluruh saudara SH memaafkan dosa saya (Eyang Suro).
Setelah jenazah saya (Eyang Suro) dimandikan agar di bacakan AlFatihah dan Al-Qadr.
Saya titip ibumu (Istri Eyang Suro).
Beliau dimakamkan di Pemakaman Desa Winongo, Kecamatan Mangunharjo, Kota Madiun.

Demikian secarik kisah beliau Ki Ngabehi Soerodiwirjo.Pencak silat merupakan kesenian yang harus kita lestarikan sampai anak cucu kita nanti, jangan menyalah gunakan sebuah ajaran pencak silat untuk kesenangan dunia semata hingga merugikan orang lain,jadikanlah ajaran pencak silat menjadi ajaran yang “Edipeni,Adiluhung” dan berguna bagi nusa, bangsa, dan agama.

dikutip dari : 
https://www.netralnews.com/pencak-silat-setia-hati-menelusuri-jejak-ki-ngabehi-soerodiwirjo/MWRoVzBSeXI1cnJUcFhwTEs5RXVRUT09

Apakah Anda ingin mengetahui tentang persaudaraan setia hati terate?